Wujud Akulturasi kebudayaan islam dan lokal di Kab. Rembang
Akulturasi
sama dengan kontak budaya yaitu bertemunya dua kebudayaan yang berbeda
melebur menjadi satu menghasilkan kebudayaan baru tetapi tidak
menghilangkan kepribadian/sifat kebudayaan aslinya.1. Tasyakuran/Sedekah Laut dan Bumi
Ritual sedekah laut dan bumi dilaksanakan pada hari ke-9 setelah hari raya Idul Fitri(Syawalan), dan sebelum atau sesudah hari H, diadakan berbagai lomba seperti kasti, thong-thong lek, jambean, dayung, Pengajian umum, dan pentas hiburan rakyat. Prosesi upacara ditandai dengan membuang/melarung sesaji ke tengah laut (pantai Kartini, Rembang) diawali dengan arak-arakan berkeliling desa Tasik Agung, yang diikuti nelayan setempat, kapal sesaji, kesenian tradisional seperti barongan, reog, barongsai, dan juga dimeriahkan oleh drum band.
Sedekah bumi dan sedekah laut merupakan budaya yang unik, kemungkinan hanya ada di Jawa Tengah dan sekitarnya. yang diantaranya ada di daaerah Rembang. Bulan Agustus kemarin secara bergantian beberapa desa di daerah Rembang mengadakan sedekah bumi dan sedekah laut, yang sering disebut sebagai pesta rakyat. Sedekah bumi diadakan di daerah-daerah yang penduduknya hidup bergantung dari pertanian dan sedekah laut diadakan dibeberapa daerah pesisir yang penduduknya menggantungkan diri dari hasil laut.
kebudayaan demikian ini dinamakan sedekah laut Acara yang digelar bemacam-macam, mulai dari kesenian pathol, layar tancap, wayang kulit hinggaacara sesajen untuk "danyang" penjaga laut. Namun oleh para Kiyai setempat,dengan dakwahnya yang intens, acara-acara tsb. akhirnya di"sulap" hingga hanya sekedar selamatan (tahlilan), memohon kepada Allah agar berkenan melimpahkan rizki yang lebih berkah. Namun "Islamisasi" (bukan purifikasi)ini, tidak diikuti oleh sedekah laut di kecamatan tetangga, hingga memang kelihatan sekali perbedaannya.
a. Tasyakuran Laut
Prosesi Sedekah Laut di Pantai Tasikagung (Rembang) yang dilaksanakan kemarin pagi dihadiri ribuan orang dan dimeriahkan pentas wayang kulit semalam suntuk dengan dalang Ki Enthus Susmono dari Tegal.
Sejak pukul 06.00, warga Rembang dan sekitarnya sudah memadati pantai di barat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tasikagung, Rembang. Mereka mengikuti tahapan demi tahapan prosesi Sedekah Laut yang dilaksanakan oleh nelayan. Prosesi diawali dengan mengirab sesaji larungan yang berbentuk miniatur kapal ke Taman Rekreasi Pantai Kartini (TRPK) Rembang. Kirab sesaji larungan tersebut diikuti berbagai kesenian tradisional, seperti reog ponorogo, barongsai, dan mobil hias.
Seusai pelaksanaan kirab yang mulai pada pukul 08.30 dan memakan waktu sekitar satu jam tersebut, sesajian berbentuk miniatur kapal purseseine dengan nama KM Sedekah Laut itu kemudian ditarik ke tengah laut untuk dilarung. Puluhan kapal nelayan dari berbagai jenis dan ukuran kemudian mengikuti kapal yang menarik berbagai sesaji tersebut hingga ke tengah laut.
Di antara kapal nelayan yang mengikuti sesaji tersebut terdapat satu kapal yang membawa alat musik kendang, kempul, dan gong yang terus ditabuh selama prosesi acara berlangsung. Selama lebih kurang satu jam berlayar, larungan sesaji yang berbentuk kapal tersebut didoakan bersama oleh para nelayan yang mengiringinya. Selama sesajian ditarik oleh nelayan ke tengah lautan, di tepi Pantai Tasikagung digelar berbagai macam lomba, seperti panjat pinang dan pecah kendi. Selain itu juga didirikan dua panggung musik dangdut yang menghibur pengunjung dari pagi hingga sore hari.
Segala kemeriahan selama Sedekah Laut berlangsung di Kabupaten Rembang kemarin, menurut keterangan salah seorang sesepuh nelayan yang juga panitia Sedekah Laut di Pantai Tasikagung, Temok Supriyanto, adalah sebuah perwujudan rasa syukur nelayan terhadap hasil tangkapan ikan selama ini. Selain itu, dengan prosesi itu masyarakat juga mengharapkan agar pada masa-masa mendatang mereka akan mendapatkan hasil tangkapan ikan yang lebih melimpah ruah daripada tahun sebelumnya serta keselamatan selama berada di laut.
''Intinya dalam Sedekah Laut, kami masyarakat nelayan berdoa kepada Yang Mahakuasa agar selalu mendapatkan perlindungan serta rahmat-Nya,'' ujar Temok. Keunikan dari sedekah bumi ini karena diadakan setiap tahun, sudah merupakan tradisi. Para penduduk desa rela bergotong royong.
Dia menuturkan, dalam lelarungan sesaji yang dipersembahkan nelayan dalam bentuk miniatur kapal berisikan kepala kambing kurban, bunga tujuh warna, kemenyan, serta bungkusan mori. ''Terus terang kami tidak tahu makna dari tiap-tiap sesaji yang dipersembahkan tersebut. Hal tersebut sudah dilakukan turun-temurun semenjak dahulu. Hanya untuk mendoakan, nelayan saat ini mengunakan doa-doa sebagaimana ajaran agama Islam,'' paparnya.
Untuk membuat sesajian dalam bentuk miniatur kapal purseseine tersebut butuh waktu sekitar satu minggu dengan dana Rp 2 juta. Dana keseluruhan prosesi yang dilaksanakan nelayan di Pantai Tasikagung, Rembang itu Rp 250 juta - Rp 400 juta.
Dana tersebut didapatkan dari iuran yang dilaksanakan oleh setiap nelayan selama satu tahun. Prosesi Sedekah Laut masih akan berlangsung hingga 13 November. Semalam juga digelar wayang kulit dengan dalang Ki Enthus Susmono.
Setiap daerah memiliki istilah berbeda dalam menyebut ritual adat tersebut. Ada daerah yang menyebut Rasulan. Masyarakat Pantura, khususnya di Rembang, menyebutnya Sedekah Bumi dan Sedekah Laut. Perayaan Sedekah Bumi dan Sedekah Laut ini wajib dilakukan sekali dalam setahun.
Mayoritas dari ratusan dukuh (desa) di Rembang merayakan Sedekah Bumi dan Sedekah Laut dengan mementaskan Ketoprak. Jadi wajar, bila hampir setiap minggu, bahkan setiap hari masyarakat bisa menyaksikan para seniman Ketoprak mempertontonkan aksinya.
Dalam wawancara satu dari peserta sedekah laut”Suwito (53), warga Desa Nglangitan, Kecamatan Tunjungan, Kabupaten Blora, Rabu (8/10) pagi, memacu sepeda motor bututnya dari Blora ke Rembang. Bersama istri dan anaknya serta ribuan warga Blora lainnya, Kepala Sekolah SD Nglangitan itu ingin meraup berkah perayaan syawalan.
Dia menuju pantai Desa Tasikagung, Kecamatan Rembang. Setelah sesaji dalam miniatur perahu dilarung ke laut, ia dan anaknya segera mencebur ke pantai. Suwito membilas kaki dan tangan dengan air laut, sedangkan anaknya berenang-renang di gulungan-gulungan ombak kecil”.
"Kami percaya berendam di air laut saat syawalan dapat menolak bala atau kesusahan. Kami akan mendapat berkah keselamatan keluarga dan rezeki menjadi lancar," katanya.
Sejak ratusan tahun, warga Kabupaten Rembang dan Blora meyakini tradisi syawalan di Kabupaten Rembang dapat membawa berkah bagi setiap pengunjung. Tradisi yang diadakan seminggu setelah Idul Fitri itu terbagi dalam upacara sedekah laut, ketupat lepet, dan lomban.
Sedekah laut merupakan ungkapan syukur nelayan pesisir Rembang atas perolehan tangkapan selama setahun. Mereka melarung sesaji yang ditaruh dalam miniatur perahu, menggelar aneka lomba, dan menanggap barongan serta dangdutan.
Ketua Kelompok Nelayan Desa Tasik Agung M Syafi'i (68) mengatakan, biaya upacara sedekah laut sekitar Rp 600 juta. Dana itu dari iuran bulanan dan tarikan dari 78 pemilik kapal Desa Tasikagung.
"Kami bersyukur karena pada tahun ini hasil tangkapan melimpah sekitar 50-60 ton per kapal dan jumlah kapal bertambah dari 50 kapal menjadi 78 kapal," katanya.
Sedekah bumi dan sedekah laut sebenarnya mempuyai sejarah, pada awalnya merupakan pesta tasyakuran masyarakat atas kerja mereka dari hasil bumi dan hasil laut selama setahun. Kemudian mereka mengadakan kondangan (makan bersama), mereka juga menjamu setiap tamu yang hadir dari luar desa dengan makanan dan tontonan budaya.
Sebagian besar Desa di daerah Rembang masih mempunyai tradisi sedekah bumi dan sedekah laut. Selain suguhan tontonan para penduduk juga menjamu para tamu dari daerah luar desanya yang mampir ke rumahnya. Tamu yang mampir pasti akan disuguhi dengan makanan berlauk ikan laut. Tradisi menjamu tamu seperti suatu kehormatan dan kebahagiaan tersendiri bagi mereka. Para pengunjung juga dapat menikmati keindahan laut dengan berlayar, bahkan biasanya pemilik kapal (juragan) memenuhi kapalnya dengan berbagai makanan untuk dinikmati pengunjung, semua gratis tanpa dipungut biaya.
Tradisi sedekah bumi dan sedekah laut memang seperti pemborosan, tetapi tradisi ini sudah menjadi acara tahunan yang tidak pernah ditinggalkan oleh masyarakat Rembang. Tradisi sedekah laut dan sedekah bumi tidak hanya di Rembang, di sebagian besar daerah laut utara dan selatan juga ada tradiri tersebut. Walau zaman terus berubah sedekah bumi dan sedekah laut masih dipertahankan oleh masyarakat Jawa sebagai tradisi warisan nenek moyang. Meskipun tradisi ini kental tradisi nenek moyang dahulu, namun pada masjid-masjid tidak lupa terdapat pengajian umum yang mendatangkan kyai banyak sekali bapak-bapak, ibu-ibu yang hadir. Dan itu artinya terdapat akulturasi antar dua budaya antara agama primitive/hindu-budha dengan agama islam.
b. Tasyakuran bumi
Berbeda denban sedekah laut, sedekah bumi dilaksanakan sebagai wujud rasa sukur atas melimpahnya hasil pertanian (darat). Desa Maguan terletak diperbatasan antara Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati, dari jalan Raya masuk 5 KM. Desa yang berpenduduk + 2364 jiwa ini sejak nenek moyang telah mengadakan sedekah bumi setiap tahunnya, tetapi zaman dulu tontonan-tonanan yang diselenggarakan hanya tontonan khas budaya Jawa seperti Ketoprak, Wayang Kulit dan Barongan (semacam Baronsai). Tetapi sesuai dengan perkembangan zaman para penduduk juga menyelenggarakan tontonan-tontonan modern seperti R n B dan Dangdut.
Bisa dibayangkan meriahnya acara sedekan bumi ini selama tiga hari tiga malam penuh dengan acara, semua tontonan di Desa Maguan jika dikalkulasi menghabiskan dana sekitar 30 juta. Padahal penduduk Desa Maguan mayoritas perpenghasilan petani tadah hujan dan buruh. Penarikan iuran untuk sedekah bumi tidak mereka pukul rata pada semua penduduk. Iuran didasarkan pembayaran pajak sawah yang dilipatkan sampai lima kali. Jadi bagi yang mempunyai sawah luas iuranya banyak sedangkan yang mempunyai sawah sedikit iurannya.
2. Haul
Haul merupakan wujud akulturasi dari agama sebelum islam seperti agama primitive,hindu-budha, dimana dalam agama tersebut ada istilah 3,7,40 hari bahkan 1tahun dari kematian seseorang. dari situlah Haul dalam islam merupakan penghormatan bagi seseorang/tokoh yang berjasa menyebarkan agama islam di Rembang setiap tahunnya.
Dan haul di rembang ini yang saya cuplik salah satunya adalah haul Sunan Bonang.
Kegiatan ritual yang masih dilaksanakan sampai sekarang adalah haul Sunan Bonang . Haul ini dilaksanakan setiap Zulhijah pada Rabu Pahing (tahun ini jatuh pada 21 Desember 2009). Jika bulan itu tidak ada Rabu Pahing diganti Jumat Legi di dalem dan kompleks makam.
Acara haul ini meliputi: pengajian, tahlilan, dan kirim do’a yang dihadiri ribuan masyarakat kab. Rembang dan sekitarnya, disamping itu banyak keramaian seperti banyak pedagang yang ikut meramaikan haul sunan bonang(Raden Maulana Makdum Ibrahim).
Haul ini diadakan di desa Bonang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang sudah lama terkenal lantaran terdapat makam dan petilasan Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang). Dalam kompleks petilasan terdapat mushala dengan kamar berisi batu besar. Dahulu, batu tersebut digunakan Sunan Bonang sebagai sajadah saat menunaikan shalat dan berzikir.
Di lokasi itu ada juga makam putri Campa, yaitu Dewi Indrawati (ibu Raden Patah Sultan Demak). Petilasan itu berlokasi di sebuah bukit sedangkan makamnya berada di bawah, di tengah Desa Bonang.
3. Tradisi penjamasan bende becak
Bende becak adalah benda pusaka yang mirip gong kecil.Penjamasan (pencucian) bende becak dilakukan setiap 10 Zulhijah (Idul Adha) pukul 09.00 oleh juru kunci makam. Asal-usul bende becak ini berasal dari utusan majapahit yang hendak menemui sunan kalijaga yang pada saat itu sedang shalat, zikir dalam waktu bersamaan bende itu berbunyi dan bernyanyi sendiri, kemudian bende becak itu ditinggal di tempat sunan boning itu berada. Pada acara itu dibagi-bagikan ketan kuning. Para pengunjung kemudian memperebutkan air bekas jamasan.
Acara Penjamasan Pusaka Sunan Bonang berupa “bende” yang di beri nama “Bende Becak” pada setiap tanggal 10 Dzulhijah (Hari Raya Idul Adha) pukul 09.00 diadakan upacara penjamasan yaitu berisi ucapan do’a islam dan bercampur sedikit mantra di rumah juru kunci Desa Bonang Kecamatan Lasem. Bende Becak berukuran garis tengah 10 cm. Kemudian pada acara ini pula berisi pengajian umum yang diselenggarakan oleh yayasan sunan bonang.
Zaman dulu bende ini berfungsi sebagai alat untuk mengumpulkan para wali atau sebagai tanda pemberitahuan akan terjadinya sesuatu peperangan /musibah. Pada upacara ini dibagi-bagikan ketan kuning dengan enti / selai ( dari kelapa manis ) serta memperebutkan air bekas penjamasan Bende Becak yang konon dapat memberikan berkah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar